Bentrokan dipicu rencana Pemerintah Provinsi DKI menggusur sebagian lokasi makam Mbah Priuk yang dikeramatkan. Warga, terutama mereka yang mengatasnamakan ahli waris tanah tersebut, berusaha mempertahankan Mbah Priuk.
Kuasa hukum ahli waris makam Mbah Priuk, Zulhendrihasan, mengatakan, tanah ini awalnya makam Habib Hasan bin Muhammad Al Haddad. Saudagar Arab itu meninggal tahun 1756 karena kapalnya terkena badai di laut utara Jakarta.
Saat Habib Hasan dimakamkan, batu nisannya adalah dayung patah dan ”periuk” nasi milik Habib Hasan. Di makam itu juga ditanam bunga tanjung. Zulhendrihasan meyakini hal inilah awal dari penyebutan nama Tanjung Priok.
Sebelum tahun 1997, lokasi itu merupakan Tempat Pemakaman Umum (TPU) Dobo yang diisi oleh 28.500 unit makam. Luas TPU dan kawasan sekitarnya mencapai 145,2 hektar dan berada di Jalan Dobo, Jakarta Utara. Para ahli waris Habib Hasan mengklaim tanah itu sebagai milik mereka berdasarkan hak Eigendom Verponding No 4341 dan No 1780.
Sementara pihak PT Pelindo II mengklaim tanah itu berdasarkan sertifikat Hak Pengelolaan Nomor 1/Koja Utara, yang diterbitkan Kantor Pertanahan Jakarta Utara pada 21 Januari 1987. Dengan sertifikat itu, PT Pelindo II berniat memperluas terminal bongkar muat peti kemas sesuai dengan rencana induk pelabuhan.
Mendengar hal itu, pihak ahli waris melakukan protes dan memeriksa status kepemilikan tanah ke Kantor Pertanahan Jakarta Utara. Kantor Pertanahan Jakarta Utara mengeluarkan surat No 182/09.05/HTPT yang menyatakan bahwa status tertulis tanah di Jalan Dobo itu atas nama Gouvernement Van Nederlandch Indie dan telah diterbitkan sertifikat hak pengelolaan No 1/Koja Utara atas nama Perum Pelabuhan II.
Pada periode 1995-1997, sebanyak 28.500 kerangka dipindahkan ke TPU Budidarma, Semper, Jakarta Utara. Pada 21 Agustus 1997, kerangka Habib Hasan juga dipindah ke TPU Budidarma.
Namun, pada September 1999, ahli waris kembali membangun makam Mbah Priuk di lokasi lama serta sebuah pendopo tanpa izin Pelindo II dan tanpa izin mendirikan bangunan (IMB). Makam itu sering dikunjungi orang untuk berdoa dan berziarah.
Pada tahun 2001, Habib Muhammad bin Achmad sebagai ahli waris Habib Hasan mengajukan gugatan atas tanah tersebut ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara dengan nomor perkara 245/Pdt.G/2001/PN.Jkt.Ut melawan PT Pelindo II. Namun, PN Jakarta Utara menolak gugatan itu. Setelah itu, pihak ahli waris tidak mengajukan banding sehingga putusan pengadilan memiliki kekuatan hukum tetap dan hak atas tanah itu menjadi milik PT Pelindo II.
Pada 2010, PT Pelindo II meminta bantuan hukum dari Pemprov DKI untuk membongkar bangunan pendopo dan karena tidak memiliki IMB dan kawasan itu akan dijadikan perluasan terminal peti kemas. Makam akan diperluas dan dipercantik sehingga tetap dapat dikunjungi untuk ziarah warga.
Kerusuhan antara Satpol PP dengan warga masyarakat yang mempertahakan makam Mbah Priok yang digusur oleh beberapa kalangan dikatakan merupakan bentuk kegagalan Pemerintah Kota Jakarta Utara dan Satpol PP dalam membaca potensi kerusuhan. Pihak pengeksekusi seharusnya bisa mengantisipasi kerusuhan sebelum dilakukan eksekusi.
Sebaiknya pihak Satpol PP atau pihak yang akan mengeksekusi tanah tersebut melakukan pendekatan baik secara psikologis maupun pendekatan sosial dengan warga dan tokoh masyarakat.
Pendekatan itu tentunya merupakan kajian analisis untuk langkah selanjutnya. Bukan hanya mengerahkan ratusan petugas dang langsung menerobos barikade warga.
Bila itu dilakukan, jelas merupakan perbuatan konyol. Karena, makam Mbah Priok merupakan situs dan simbol keagungan sejarah dalam penyebaran agama Islam di Nusantara. Dan, pendukungnya jelas mempunyai keyakinan yang tinggi untuk mempertahankannya. Bilamana perlu, nyawa yang menjadi taruhannya. Warga benar-benar telah siap dengan segala kemungkinan.
Sebaliknya, para anggota Satpol PP. Mereka datang sekedar hanya melaksanakan perintah atasan. Apabila menolak perintah tersebut, jelas indisipliner atau malah pemecatan resikonya. Jadi, motivasi bentrok sendiri sudah berlainan. Maka, tak heran bila yang menjadi korban lebih banyak adalah petugas Satpol PP.
Oleh karena itu, peristiwa yang mengenaskan tersebut hendaknya cepat-cepat diselesaikan agar tidak meluas dampaknya, baik politik, sosial, maupun ekonomi. Jangan sampai kasus Koja menjadi peristiwa Mei 1998 menjadi terulang.